Kader IMM Bandung
jurusan : Bahasa & Sastra inggris di UIN SGD Bandung
Kelahiran 17 mei 1991 di kota Bandung Jawa Barat.
Jam masih menunjukan pukul 06.00 Wib. Ya ini
memang masih begitu pagi untuk ku. Mentari pun sepertinya masih enggan tuk
menampakan dirinya pagi ini. Udara masih terasa begitu dingin menusuk tubuh
sampai ke sendi-sendi. Embunpun
masih enggan meninggalkan rerumputan dan burung-burung begitu riangnya
bernyanyi seolah memberiku semangat tuk mengawali hari pagi ini. Namun hari ini
aku harus menyelesaikan tugas penelitianku.
Udara Bandung memang masih cenderung
sejuk dibandingkan kota kelahiranku Jogja.
Sudah lama rupanya tak menginjakan kaki di kota budaya itu semenjak
kepindahanku ke Bandung beberapa tahun lalu. Rindu rasanya dengan kampung
halaman terlebih rindu dengan bapak ku yang masih setia menetap disana. Entah
karena memang setia dengan kampung halaman atau mungkin karena tak ada pilihan
lain lagi. “bapak, bagaimana kabarnya sekarang” gumamku dalam hati.
Kemudian terlintas dibenakku tentang
masa 5 tahun lalu saat semuanya masih terasa begitu indah. Berada diantara orang-orang
yang aku sayangi. Ibu,, bapak, seandainya perceraian itu tak pernah terjadi,
mungkin saat ini aku masih tetap berada disana. Berada di tengah-tengah mereka,
tak seperti sekarang jauh dari kedua orang tua karena aku lebih memilih untuk
tinggal bersama nenek ku dibanding harus tinggal dengan ibu dan ayah tiriku. Semua seolah
berubah ketika kebahagian itu terenggut dengan kemelut yang tak pernah aku
mengerti sampai saat ini.
Perceraian kedua orang tuaku membuat ku
menjadi sosok yang pemurung dan lebih suka menyendiri. Aku tak suka dengan
keramaian, karena menurutku keramaian tak bisa memberikan ku kedamaian seperti
yang aku cari selama ini.
“Dira, loh ko malah melamun sih” suara
nenek membuyarkan lamunanku.
“Memang kamu gak berangkat kuliah hari
ini”
“Astagfirullah sampai lupa tadi kan aku
berniat untuk bergegas pergi ke tempat penelitian” gumamku dalam hati.
“Iya nek hari ini aku ada tugas
penelitian. Aku berangkat ya nek” ujarku seraya mencium tangan nenekku.
“Ya sudah hati-hati di jalan”
Aku langsung bergegas dan berlalu menjauh
dari rumah.
* * *
Hari ini ku habiskan waktuku untuk
menyelesaikan penelitian tugas akhir ku. Tapi entah mengapa rasa rindu serta
cemas menyelimuti ku hari ini. Terlebih setelah aku memimpikan bapak ku tadi
malam.
“Oh Tuhan semoga bapak baik-baik saja”
gumamku dalam hati.
Darrr ,,, seseorang mengagetkanku.
“Ko malah melamun” ujar Dewi sahabat ku.
“Nnng,,gaa ko,, siapa yang melamun” ujarku
membela diri.
Aku menyembunyikan rasa cemas yang kurasakan
pada semua orang termasuk nenek. Entahlah rasanya aku tak berani mengungkapkan
rasa rindu yang selama ini aku pendam kepada bapak. Keluarga ibu ku seolah
menutup jalan untuk ku bisa bertemu dengan bapak.
Kringg,,kringg,,, sura handphone ku berdering
tanda ada panggilan masuk.
“Hallo, dengan siapa disana” tanya ku karena
ini nomor baru dalam phonebook ku.
“Ndok, ini bi Ningsih adik bapak mu” ujar
suara di sebrang sana.
“Oh bi Ning toh, piye kabare toh bi?
“Alhamdulillah apik ndok, bagaimana kabarmu
dan ibu mu?
“Dira baik bi, ibu juga baik. Bagaimana
keadaan bapak bi?
“ Begini ndok, bapakmu,,,” suara disebrang
sana terhenti sebentar “memangnya kamu belum tau kalau bapak mu sakit?
“Sakit!!! Aku langsung kaget ketika mendengar
berita itu.
“Sejak kapan bi, kenapa baru kasih kabar Dira
sekarang”
“Lho iki piye toh ndok, bibi sudah sering
kasih kabar ke ibumu. Memangnya ibu mu gak kasih kamu kabar toh”
“Ndak, Dira ndak tau kalau bapak sakit bi”
“Ya sudah kalau begitu kapan kamu mau jenguk
bapakmu ndok. Kasihan bapakmu, nampakya dia sudah rindu pada mu. Tapi bibi
sarankan supaya secepatnya kamu kesini”
“Memangnya kenapa dengan bapak bi, sakitnya
gak parah kan bi”
“Ya kamu kesini saja toh ndok, bibi tunggu
ya”
“Iya bi Dira usahakan untuk secepatnya pulang
ke Jogja”
“Ya sudah salam saja sama ibu mu dan yang
lainya”
Aku bergegas pulang setelah mendapat telepon dari
bi Ning. Pulang dengan membawa kecemasan dan pertanyaan-pertanyaan yang semakin
menyeruak dalam hati. Mengapa ibu tak pernah memberiku kabar tentang bapak.
Mengapa ibu seolah menjauhkan aku dengan bapak, ada apa ini sebenarnya. Apakah
ibu terlalu sakit sehingga tak mau tau dengan semua yang berkaitan dengan
bapak. Jika ibu memang kecewa terhadap bapak mengapa harus menumbalkan aku
juga. Pertanyaan-pertanyaan itu memang sulit aku jawab.
*
* *
Setibanya di rumah, aku langsung bergegas
memasuki kamar serta menyiapkan barang-barang yang akan aku bawa ke Jogja. Aku
tak bisa menahan rasa khawatirku lebih lama lagi. Aku ingin bertemu bapak dan
memastikan keadaannya meski memang aku pun belum tentu mendapat izin dari nenek
serta ibu. Tapi tekad ini mengalahkan ketakutanku dan memberiku kekuatan untuk
tetap pergi.
“Nek,Dira minta maaf sebelumnya tak
memberitahu nenek tentang niat Dira untuk pergi ke Jogja malam ini. Dira mohon
izin untuk bertemu bapak”
Nenek
ku hanya terdiam entah tanda setuju atau penolakannya terhadap niat ku.
“Dira disana ndak lama nek, Dira hanya ingin
memastikan keadaan bapak”
“Ya sudah nak, nenek tak bisa menahanmu lebih
lama lagi. Itu adalah hak mu untuk bertemu bapakmu. Salam saja pada bapak mu
dan bilang nenek minta maaf karena tak bisa ikut menjenguk”
“Iya nek nanti Dira sampaikan setelah Dira
bertemu bapak. Dira mohon pamit nek” ujarku seraya menyalami tangan nenek.
Aku langsung berlalu menjauh meninggalkan
nenek yang kulihat masih berdiri menatap kepergianku. Tak tega memang
meninggalkanya sendiri di rumah, namun rasanya aku lebih tak tega lagi jika
harus berlama-lama membiarkan bapak merasakan sakit. Aku memang tak bisa
menyembuhkan sakitnya namun setidaknya aku bisa mengobati rasa rindunya untuk
bisa bertemu denganku.
* * *
Mentari pagi menyambut kedatanganku. Ku lihat
suasana rumah yang dulu aku tempati tetap tak ada perbedaan masih sama seperti
5 tahun lalu ketika aku masih tinggal disini . Namun ada yang berbeda karena
terlihat begitu banyak orang mendatangi rumah bapak. Entah ada apa aku pun tak
tahu.
Ku percepat langkahku karena ingin mencari
tahu mengapa orang-orang ini berada disini.
Ku masuki rumah perlahan seolah
tak ingin mengganggu orang-orang yang berada disana. Ku lihat bi Ning terduduk
di ruang tamu seraya menangis dan ku hampiri dia.
“Ada apa toh bi, kenapa banyak orang?
Memangnya mereka sedang apa disini? Tannyaku setengah memaksa.
“Bapak mu ndok, bapakmu” ujarnya dengan air
mata yang masih mengalir.
“Ada apa toh bi dengan bapak, bapak kenapa”
Bi Ning hanya metapku lirih dan mendekapku
erat. Aku merasa kebingungan. Langsung ku lepaskan pelukan bi Ning dan aku
berlari menuju ruang keluarga. Ku lihat sesosok tubuh terbujur kaku di sudut
ruangan ini. Wajahnya memucat dengan bibir yang mulai kebiruan, langsung ku raih
sosok itu ku dekap dengan tangisan yang terasa begitu memilukan. Air mata ku
mengalir tak henti bak air sungai yang mengalir dari hulu. Kata-kata tak bisa
keluar dari mulutku. Aku hanya terduduk dengan penyesalan pilu. Kurasakan
seorang mendekapku erat. Dia menegarkanku dan berusaha mengobati rasa sakit
serta kekecewaanku.
Penyesalah serta rasa berdosa semakin
menyeruak dalam hati ku. Mengapa Tuhan begitu kejam padaku. Mengapa secepat ini
Tuhan mengajaknya pergi dari ku. Megapa Tuhan tak memberiku kesempatan untuk
berbakti padanya. Apakah tuhan marah padaku,
apakah Tuhan benci padaku.
Setelah beberapa menit aku hanya terdiam dan
seolah mulutku terkunci oleh penyesalan,
tanpa sadar tangisku meledak dan tak bisa aku tahan lagi. Dadaku terasa begitu
sesak, tubuhku lemas seolah tak ada tulang yang menopang dalam tubuhku.
“Ba,,,,paaaakkkk, bangun pak. Ayo bangung.
Ini Dira pak” aku berteriak histeris seraya menggoyang-goyang kan tubuh bapak yang
terlihat semakin kurus dibanding
sebelumnya.
“Istigfar ndok, istigfar! Jangan tangisi
bapakmu seperti itu, dia juga pasti menangis
kalau lihat kamu seperti ini. Ikhlaskan bapakmu ndok”
“Ndak bi, ndak, bapak ndak boleh pergi. Bapak
pasti masih hidup bi. Bapak Cuma lagi tidur karena kelamaan nunggu Dira. Pak,,
bangun pak,,, Dira sudah datang pak. Ayo pak buka mata bapak!
“Sudahlah ndok,ikhlaskan bapakmu!
Aku kembali terdiam. Rasa tak rela
menyelimutiku. Rasanya aku sedang bermimpi dan aku ingin segera bangun dari
mimpi itu karena aku berharap kenyataan yang ada tak seperti ini. Air mata
tak hentinya mengalaliri kedua belah
pipiku. Aku terduduk seraya menatap tubuh yang terbaring didepanku. Ku lihat
raut muka yang semakin menua. Rasa sesal itu semakin menjadi ketika aku
mengingat semua pengorbanannya untuk ku.
Aku menyesal karena belum sempat berbakti padanya. Bahkan aku belum sempat
negucapkan sepatah kata pun untuknya karena Tuhan tak memberikanku kesempatan
itu.
Harapan hanyalah tinggal harapan. Keinganan
untuk memeluknya ketika wisuda nanti tinggalah sebuah angan yang tak bisa aku
raih. Aku tak bisa melihatnya tersenyum ketika aku mengenakan jubah wisuda dan
lulus dengan nilai yang bagus. Semua terasa sia-sia. Aku merasa tak berguna.
“Sudah ndok, kamu harus sabar. Bibi yakin
bapakmu pastiakan tersenyum bahagia ketika melihatmu bahagia. Ndok, bapak mu
menitipkan ini pada bibi dan menyuruh bibi untuk memberikannya padamu ndok”
sebelum meninggal bapakmu mengatakan pada bibi kalau dia rindu padamu dan dia
minta maaf karna tak bisa menemanimu ketika kamu wisuda nanti. Kata-kata itu
semakin memaksa air mataku mengalir lebih deras lagi. Rasanya tak bisa ku tahan
air mata yang mengalir. Aku semakin terisak ketika melihat sebuah kotak yang dihias
dengan pita merah yang berada di tanganku.
*
* *
Upacara pemakaman pun selesai. Aku merasa berada
di alam mimpi dan memang berharap ini hanya mimpi buruk yang mengganggu tidur
ku. Rasanya aku ingin segera terbangun
agar kesedihan yang ku rasa saat ini tak lagi aku rasakan. Namun aku kembali tersadar kedunia nyataku
ketika ku lihat kotak berpita merah yang berada disudut kamarku.
Ku raih kotak itu dan ku peluk erat. Tak
terasa air mata kembali membasahi kedua belah pipiku. Tak kuasa ku membuka
kotak itu, rasanya aku tak punya keberanian untuk membukanya. Cukup lama aku
terisak dalam tangisan serta kenangan yang semakin nyata dalam ingatan.
Aku coba memberanikan diri untuk membuka
kotak itu, terlebih karena aku ingin tahu apa isi kotak itu. perlahan ku buka
pita yang menghiasinya dan menelanjanginya satu-persatu.
Ku lihat banyak sekali barang yang berada
dalam kotak itu. Namun mataku tertuju pada satu buku yang berisi tentang
catatan-catatan bapak. Bapak memang sama seperti ku suka menulis, ya meskipun
dia seorang laki-laki tapi menurutku itu hal wajar. Dalam tulisannya dia
menulis bahwa ini adalah kado yang selama ini dia siapkan saat ulang tahunku.
Dia selalu mengirimkan ini di setiap ulang tahunku, namun entah apa sebabnya
ibuku tak pernah membitahukanku dan selalu mengemblikanya kepada bapak tanpa
aku ketahui. Ibu ku seolah menutup akses kabar tentangku.
Tangisku semakin menjadi ketika aku membaca
halaman terakhir catatan itu. satu harapan terakhirnya adalah bertemu denganku
dan memelukku. Aku merasa menjadi anak yang begitu durhaka, aku merasa begitu
berdosa karena membiarkannya menahan kesakitan selama 5 tahun ini. Aku marah
,aku benci pada diriku sendiri.
Aku tersujud dalam gelap, aku meminta ampun
kepada tuhan atas segala dosa-dosaku. Aku memohon padanya agar bapak
mendapatkan tempat yang layak disisinya. Dan aku memohon kepada Tuhan agar
kelak aku bisa bertemu dengan bapak di syurga nanti.