Kamis, 24 Mei 2012

Kotak Berpita Merah


Oleh  : Ita Mustapa
                                                       Kader IMM Bandung
jurusan : Bahasa & Sastra inggris di UIN SGD Bandung
Kelahiran 17 mei 1991 di kota Bandung Jawa Barat.


Jam masih menunjukan pukul 06.00 Wib. Ya ini memang masih begitu pagi untuk ku. Mentari pun sepertinya masih enggan tuk menampakan dirinya pagi ini. Udara masih terasa begitu dingin menusuk tubuh sampai ke sendi-sendi. Embunpun masih enggan meninggalkan rerumputan dan burung-burung begitu riangnya bernyanyi seolah memberiku semangat tuk mengawali hari pagi ini. Namun hari ini aku harus menyelesaikan tugas penelitianku.
        Udara Bandung memang masih cenderung sejuk dibandingkan kota kelahiranku Jogja.  Sudah lama rupanya tak menginjakan kaki di kota budaya itu semenjak kepindahanku ke Bandung beberapa tahun lalu. Rindu rasanya dengan kampung halaman terlebih rindu dengan bapak ku yang masih setia menetap disana. Entah karena memang setia dengan kampung halaman atau mungkin karena tak ada pilihan lain lagi. “bapak, bagaimana kabarnya sekarang” gumamku dalam hati.
Kemudian terlintas dibenakku tentang masa 5 tahun lalu saat semuanya masih terasa begitu indah. Berada diantara orang-orang yang aku sayangi. Ibu,, bapak, seandainya perceraian itu tak pernah terjadi, mungkin saat ini aku masih tetap berada disana. Berada di tengah-tengah mereka, tak seperti sekarang jauh dari kedua orang tua karena aku lebih memilih untuk tinggal bersama nenek ku dibanding harus tinggal  dengan ibu dan ayah tiriku. Semua seolah berubah ketika kebahagian itu terenggut dengan kemelut yang tak pernah aku mengerti sampai saat ini.
Perceraian kedua orang tuaku membuat ku menjadi sosok yang pemurung dan lebih suka menyendiri. Aku tak suka dengan keramaian, karena menurutku keramaian tak bisa memberikan ku kedamaian seperti yang aku cari selama ini.
“Dira, loh ko malah melamun sih” suara nenek membuyarkan lamunanku.
“Memang kamu gak berangkat kuliah hari ini”
“Astagfirullah sampai lupa tadi kan aku berniat untuk bergegas pergi ke tempat penelitian” gumamku dalam hati.
“Iya nek hari ini aku ada tugas penelitian. Aku berangkat ya nek” ujarku seraya mencium tangan nenekku.
“Ya sudah hati-hati di jalan”
Aku langsung bergegas dan berlalu menjauh dari rumah.
* * *
Hari ini ku habiskan waktuku untuk menyelesaikan penelitian tugas akhir ku. Tapi entah mengapa rasa rindu serta cemas menyelimuti ku hari ini. Terlebih setelah aku memimpikan bapak ku tadi malam.
“Oh Tuhan semoga bapak baik-baik saja” gumamku dalam hati.
Darrr ,,, seseorang mengagetkanku.
“Ko malah melamun” ujar Dewi sahabat ku.
“Nnng,,gaa ko,, siapa yang melamun” ujarku membela diri.
Aku menyembunyikan rasa cemas yang kurasakan pada semua orang termasuk nenek. Entahlah rasanya aku tak berani mengungkapkan rasa rindu yang selama ini aku pendam kepada bapak. Keluarga ibu ku seolah menutup jalan untuk ku bisa bertemu dengan bapak.
Kringg,,kringg,,, sura handphone ku berdering tanda ada panggilan masuk.
“Hallo, dengan siapa disana” tanya ku karena ini nomor baru dalam phonebook ku.
“Ndok, ini bi Ningsih adik bapak mu” ujar suara di sebrang sana.
“Oh bi Ning toh, piye kabare toh bi?
“Alhamdulillah apik ndok, bagaimana kabarmu dan ibu mu?
“Dira baik bi, ibu juga baik. Bagaimana keadaan bapak bi?
“ Begini ndok, bapakmu,,,” suara disebrang sana terhenti sebentar “memangnya kamu belum tau kalau bapak mu sakit?
“Sakit!!! Aku langsung kaget ketika mendengar berita itu.
“Sejak kapan bi, kenapa baru kasih kabar Dira sekarang”
“Lho iki piye toh ndok, bibi sudah sering kasih kabar ke ibumu. Memangnya ibu mu gak kasih kamu kabar toh”
“Ndak, Dira ndak tau kalau bapak sakit bi”
“Ya sudah kalau begitu kapan kamu mau jenguk bapakmu ndok. Kasihan bapakmu, nampakya dia sudah rindu pada mu. Tapi bibi sarankan supaya secepatnya kamu kesini”
“Memangnya kenapa dengan bapak bi, sakitnya gak parah kan bi”
“Ya kamu kesini saja toh ndok, bibi tunggu ya”
“Iya bi Dira usahakan untuk secepatnya pulang ke Jogja”
“Ya sudah salam saja sama ibu mu dan yang lainya”
Aku bergegas pulang setelah mendapat telepon dari bi Ning. Pulang dengan membawa kecemasan dan pertanyaan-pertanyaan yang semakin menyeruak dalam hati. Mengapa ibu tak pernah memberiku kabar tentang bapak. Mengapa ibu seolah menjauhkan aku dengan bapak, ada apa ini sebenarnya. Apakah ibu terlalu sakit sehingga tak mau tau dengan semua yang berkaitan dengan bapak. Jika ibu memang kecewa terhadap bapak mengapa harus menumbalkan aku juga. Pertanyaan-pertanyaan itu memang sulit aku jawab.
* * *
Setibanya di rumah, aku langsung bergegas memasuki kamar serta menyiapkan barang-barang yang akan aku bawa ke Jogja. Aku tak bisa menahan rasa khawatirku lebih lama lagi. Aku ingin bertemu bapak dan memastikan keadaannya meski memang aku pun belum tentu mendapat izin dari nenek serta ibu. Tapi tekad ini mengalahkan ketakutanku dan memberiku kekuatan untuk tetap pergi.
“Nek,Dira minta maaf sebelumnya tak memberitahu nenek tentang niat Dira untuk pergi ke Jogja malam ini. Dira mohon izin untuk bertemu bapak”
Nenek  ku hanya terdiam entah tanda setuju atau penolakannya terhadap niat ku.
“Dira disana ndak lama nek, Dira hanya ingin memastikan keadaan bapak”
“Ya sudah nak, nenek tak bisa menahanmu lebih lama lagi. Itu adalah hak mu untuk bertemu bapakmu. Salam saja pada bapak mu dan bilang nenek minta maaf karena tak bisa ikut menjenguk”
“Iya nek nanti Dira sampaikan setelah Dira bertemu bapak. Dira mohon pamit nek” ujarku seraya menyalami tangan nenek.
Aku langsung berlalu menjauh meninggalkan nenek yang kulihat masih berdiri menatap kepergianku. Tak tega memang meninggalkanya sendiri di rumah, namun rasanya aku lebih tak tega lagi jika harus berlama-lama membiarkan bapak merasakan sakit. Aku memang tak bisa menyembuhkan sakitnya namun setidaknya aku bisa mengobati rasa rindunya untuk bisa bertemu denganku.
* * *
Mentari pagi menyambut kedatanganku. Ku lihat suasana rumah yang dulu aku tempati tetap tak ada perbedaan masih sama seperti 5 tahun lalu ketika aku masih tinggal disini . Namun ada yang berbeda karena terlihat begitu banyak orang mendatangi rumah bapak. Entah ada apa aku pun tak tahu.
Ku percepat langkahku karena ingin mencari tahu mengapa orang-orang ini berada disini.  Ku masuki rumah perlahan  seolah tak ingin mengganggu orang-orang yang berada disana. Ku lihat bi Ning terduduk di ruang tamu seraya menangis dan ku hampiri dia.
“Ada apa toh bi, kenapa banyak orang? Memangnya mereka sedang apa disini? Tannyaku setengah memaksa.
“Bapak mu ndok, bapakmu” ujarnya dengan air mata yang masih mengalir.
“Ada apa toh bi dengan bapak, bapak kenapa”
Bi Ning hanya metapku lirih dan mendekapku erat. Aku merasa kebingungan. Langsung ku lepaskan pelukan bi Ning dan aku berlari menuju ruang keluarga. Ku lihat sesosok tubuh terbujur kaku di sudut ruangan ini. Wajahnya memucat dengan bibir yang mulai kebiruan, langsung ku raih sosok itu ku dekap dengan tangisan yang terasa begitu memilukan. Air mata ku mengalir tak henti bak air sungai yang mengalir dari hulu. Kata-kata tak bisa keluar dari mulutku. Aku hanya terduduk dengan penyesalan pilu. Kurasakan seorang mendekapku erat. Dia menegarkanku dan berusaha mengobati rasa sakit serta kekecewaanku.
Penyesalah serta rasa berdosa semakin menyeruak dalam hati ku. Mengapa Tuhan begitu kejam padaku. Mengapa secepat ini Tuhan mengajaknya pergi dari ku. Megapa Tuhan tak memberiku kesempatan untuk berbakti padanya. Apakah tuhan marah padaku,  apakah Tuhan benci padaku.
Setelah beberapa menit aku hanya terdiam dan seolah mulutku  terkunci oleh penyesalan, tanpa sadar tangisku meledak dan tak bisa aku tahan lagi. Dadaku terasa begitu sesak, tubuhku lemas seolah tak ada tulang yang menopang dalam tubuhku.
“Ba,,,,paaaakkkk, bangun pak. Ayo bangung. Ini Dira pak” aku berteriak histeris seraya  menggoyang-goyang kan tubuh bapak yang terlihat semakin  kurus dibanding sebelumnya.
“Istigfar ndok, istigfar! Jangan tangisi bapakmu seperti itu, dia juga pasti menangis  kalau lihat kamu seperti ini. Ikhlaskan bapakmu ndok”
“Ndak bi, ndak, bapak ndak boleh pergi. Bapak pasti masih hidup bi. Bapak Cuma lagi tidur karena kelamaan nunggu Dira. Pak,, bangun pak,,, Dira sudah datang pak. Ayo pak buka mata bapak!
“Sudahlah ndok,ikhlaskan bapakmu!
Aku kembali terdiam. Rasa tak rela menyelimutiku. Rasanya aku sedang bermimpi dan aku ingin segera bangun dari mimpi itu karena aku berharap kenyataan yang ada tak seperti ini. Air mata tak  hentinya mengalaliri kedua belah pipiku. Aku terduduk seraya menatap tubuh yang terbaring didepanku. Ku lihat raut muka yang semakin menua. Rasa sesal itu semakin menjadi ketika aku mengingat  semua pengorbanannya untuk ku. Aku menyesal karena belum sempat berbakti padanya. Bahkan aku belum sempat negucapkan sepatah kata pun untuknya karena Tuhan tak memberikanku kesempatan itu.
Harapan hanyalah tinggal harapan. Keinganan untuk memeluknya ketika wisuda nanti tinggalah sebuah angan yang tak bisa aku raih. Aku tak bisa melihatnya tersenyum ketika aku mengenakan jubah wisuda dan lulus dengan nilai yang bagus. Semua terasa sia-sia. Aku merasa tak berguna.
“Sudah ndok, kamu harus sabar. Bibi yakin bapakmu pastiakan tersenyum bahagia ketika melihatmu bahagia. Ndok, bapak mu menitipkan ini pada bibi dan menyuruh bibi untuk memberikannya padamu ndok” sebelum meninggal bapakmu mengatakan pada bibi kalau dia rindu padamu dan dia minta maaf karna tak bisa menemanimu ketika kamu wisuda nanti. Kata-kata itu semakin memaksa air mataku mengalir lebih deras lagi. Rasanya tak bisa ku tahan air mata yang mengalir. Aku semakin terisak ketika melihat sebuah kotak yang dihias dengan pita merah yang berada di tanganku.
* * *
Upacara pemakaman pun selesai. Aku merasa berada di alam mimpi dan memang berharap ini hanya mimpi buruk yang mengganggu tidur ku. Rasanya  aku ingin segera terbangun agar kesedihan yang ku rasa saat ini tak lagi aku rasakan.  Namun aku kembali tersadar kedunia nyataku ketika ku lihat kotak berpita merah yang berada disudut kamarku.
Ku raih kotak itu dan ku peluk erat. Tak terasa air mata kembali membasahi kedua belah pipiku. Tak kuasa ku membuka kotak itu, rasanya aku tak punya keberanian untuk membukanya. Cukup lama aku terisak dalam tangisan serta kenangan yang semakin nyata dalam ingatan.
Aku coba memberanikan diri untuk membuka kotak itu, terlebih karena aku ingin tahu apa isi kotak itu. perlahan ku buka pita yang menghiasinya dan menelanjanginya satu-persatu.
Ku lihat banyak sekali barang yang berada dalam kotak itu. Namun mataku tertuju pada satu buku yang berisi tentang catatan-catatan bapak. Bapak memang sama seperti ku suka menulis, ya meskipun dia seorang laki-laki tapi menurutku itu hal wajar. Dalam tulisannya dia menulis bahwa ini adalah kado yang selama ini dia siapkan saat ulang tahunku. Dia selalu mengirimkan ini di setiap ulang tahunku, namun entah apa sebabnya ibuku tak pernah membitahukanku dan selalu mengemblikanya kepada bapak tanpa aku ketahui. Ibu ku seolah menutup akses kabar tentangku.
Tangisku semakin menjadi ketika aku membaca halaman terakhir catatan itu. satu harapan terakhirnya adalah bertemu denganku dan memelukku. Aku merasa menjadi anak yang begitu durhaka, aku merasa begitu berdosa karena membiarkannya menahan kesakitan selama 5 tahun ini. Aku marah ,aku benci pada diriku sendiri.
Aku tersujud dalam gelap, aku meminta ampun kepada tuhan atas segala dosa-dosaku. Aku memohon padanya agar bapak mendapatkan tempat yang layak disisinya. Dan aku memohon kepada Tuhan agar kelak aku bisa bertemu dengan bapak di syurga nanti.

Rabu, 09 Mei 2012

DELAPAN KADO TERINDAH

Delapan macam kado ini adalah hadiah terindah dan tak ternilai bagi orang-orang yang anda sayangi.


1. KEHADIRAN
Kehadiran orang yang dikasihi rasanya adalah kado yang tak ternilai harganya. Memang kita bisa juga hadir dihadapannya lewat surat, telepon, foto atau faks. Namun dengan berada disampingnya, anda dan dia dapat berbagi perasaan, perhatian dan kasih sayang secara lebih utuh dan intensif. Jadikan kehadiran anda sebagai pembawa kebahagiaan.

2. MENDENGAR
Sedikit orang yang mampu memberikan kado ini. Sebab, kebanyakan orang lebih suka didengarkan, ketimbang mendengarkan. Dengan mencurahkan perhatian pada segala ucapannya, secara tak langsung kita juga telah menumbuhkan kesabaran dan kerendahan hati. Untuk bisa mendengar dengan baik, pastikan anda dalam keadaan betul-betul relaks dan bisa menangkap utuh apa yang disampaikan. Tatap wajahnya. Tidak perlu menyela, mengkritik, apalagi menghakimi. Biarkan ia menuntaskannya, ini memudahkan anda memberikan tanggapan yang tepat setelah itu. Tidak harus berupa diskusi atau penilaian. Sekedar ucapan terima kasihpun akan terdengar manis baginya.

3. DIAM
Seperti kata-kata, didalam diam juga ada kekuatan diam bisa dipakai untuk menghukum, mengusir, atau membingungkan orang. Tetapi lebih dari segalanya, diam juga bisa menunjukan kecintaan kita pada seseorang karena memberinya “ruang”. Terlebih jika sehari-hari kita sudah terbiasa gemar menasihati, mengatur, mengkritik bahkan mengomel.

4. KEBEBASAN
Mencintai seseorang bukan berarti memberi kita hak penuh untuk memiliki atau mengatur kehidupan orang bersangkutan. Bisakah kita mengaku mencintai seseorang jika kita selalu mengekangnya? Memberi kebebasan adalah salah satu perwujudan cinta. Makna kebebasan bukanlah “kau bebas berbuat semaumu”. Lebih dalam dari itu, memberi kebebasab adalah memberinya kepercayaan penuh untuk bertanggung jawab atas segala hal yang ia putuskan atau lakukan.

5. KEINDAHAN
Siapa yang tak bahagia, jika orang yang disangi tiba-tiba tampil lebih ganteng atau cantik? Tampil indah dan rupawan juga merupakan sebuah kado yang indah. Selain keindaha penampilan pribadi, anda pun bisa menghadiahkan keindahan suasana dirumah. Vas dan bunga segar cantik diruangan keluarga atau meja makan yang tertata indah misalnya.

6. TANGGAPAN POSITIF
Tanpa sadar, sering kita memberikan penilaian negatif terhadap pikiran, sikap atau tindakan orang yang kita sayangi. Seolah-olah tidak ada yang benar dari dirinya dan kebenaran mutlak hanya pada kita. Kali ini, coba hadiahkan tanggapan positif. Nyatakan dengan jelas dan tulus. Coba ingat, berapa kali dalam seminggu terakhir anda mengucapakan terima kasih atas segala hal yang dilakukannya demi anda. Ingat-ingat pula, pernahkah anda memujinya. Kedua hal itu, ucapan terimakasih dan pujian dan juga permintaan maaf adalah kado indah yang sering terlupakan.

7. KESEDIAAN MENGALAH
Tidak semua masalah layak menjadi bahan pertengakaran. Apalagi sampai menjadi pertengkaran yang hebat. Bila anda memikirkan hal ini, berarti anda siapa memberikan kado “kesediaan mengalah”. Kesediaan untuk mengalah juga dapat melunturkan sakit hati dan mengajak kita menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini.

8. SENYUMAN
Percaya atau tidak, kekuatan senyuman amat luar biasa. Senyuman, terlebih yang diberikan dengan tulus, bisa menjadi pencair hubungan yang beku, pemberi semangat dalam keputusasaan, pencerah suasana muram, bahkan obat penenang jiwa yang resah. Senyuman juga merupakan isyarat untuk membuka diri dengan dunia sekeliling kita. Kapan terakhir kali anda menghadiahkan senyuman manis pada orang yang dikasihi?